Minggu, 19 Juni 2011

ACONITINE (Cerpen)

Karya ANTUNG FIRMANDANA

Lamunanku jauh membawa pergi ke masa lalu. Aku tinggal di rumah sederhana yang terbuat dari kayu ulin. Ayah dan ibuku adalah abdi setia pemerintah. Mereka bekerja sebagai guru di satu-satunya sekolah menengah yang ada di tempatku. SMP N 1 Longkali. Aku tinggal disebuah kecamatan bernama Longkali, wilayah yang masuk dalam kawasan Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur.
Di wilayah yang kaya dengan hasil hutan dan tambang ini masa kecil kulewati dengan kenangan-kenangan indah. Bersama teman-teman sebayaku, Bambang, Aco, Icam, Sigit dan aku Ferdi, kami berlima melewati petualangan seru dan menegangkan, mulai dari menjebak buaya di sungai, menangkap buronan polisi sampai bertemu mayat hidup. Kisah yang masih teringat jelas sampai sekarang. Tapi kini aku berada jauh dari orangtua serta teman-teman kecilku. Berkelana, merantau di pulau seberang. Bogor itulah nama tempat tinggalku sekarang.
Bulan Juni di puncak. Hari yang begitu buram, tak terdengar suara kicauan burung yang biasa menyapa, mentaripun seperti nampak takut membagi cahayanya kepada bumi, senyumpun tak ada. Pagi yang buta. Jalan perbukitan licin oleh butiran-butiran air hujan yang begitu derasnya turun. Nampak alam tak bersahabat hari ini. Walaupun begitu kini perburuan baru telah dimulai, ada polisi yang memintaku untuk membantu memecahkan sebuah kasus pembunuhan yang tergolong sangat rumit dan penuh dengan misteri. Aku melihat lilitan garis kuning seperti ular besar yang mengelilingi pohon-pohon raksasa. Disinilah tempatnya. Seseorang telah mati disini.
”Aku tidak boleh lupa memeriksa barang bukti yang ada di sekitar mayat dan bagian tubuh mayat.”Gumamku. “Ehm.. sebuah cincin sedikit terkubur dekat mayat. seperinya cincin ini tak asing bagiku.”Aku melihat secara seksama, lalu menyimpannya kedalam saku.
“Kejam. Ceritakan kepadaku bagaimana kejadiannya?” Tanyaku pada Anton salah seorang detektif kepolisian Bogor.
“Mayat ini ditemukan oleh ibu-ibu pemetik daun teh sekitar jam 07.00 pagi saat mereka sedang dalam perjalanan menuju salah satu tempat kebun teh. Mayat ini mungkin sudah berumur 5 jam. Dari identitasnya diketahui bahwa nama korban adalah Hendra Wijaya. Dia adalah pengusaha barang antik, seorang kolektor, umurnya 28 tahun. Tinggalnya tak jelas, dia suka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.” Jawabnya dengan nada tegas dan dingin setelah membuka buku catatanya.
“Kapan orang ini terakhir terlihat?” Aku bertanya lagi padanya.
“Terakhir ada seorang pejalan kaki melihatnya kemarin sore berada di Villa Tamara, jaraknya sekitar 500 meter dari sini” Jawab Anton kembali setelah membuka buku catatannya.
“Apakah ada yang menyentuh mayat ini sebelum aku?” tanyaku balik.
“Tidak ada, karena semenjak kami datang kesini hanya kamulah Ferdi yang baru memeriksa mayat itu kami belum menyentuhnya sama sekali. Karena kamu yang memang kami harapkan memeriksa mayat itu”. Jawabnya lagi dengan nada yang sama.
“Baguslah kalau begitu”. Jawabku dengan senyum, aku sangat senang karena aku adalah orang pertama yang mendapatkan barang bukti sebelum tim forensik polisi memeriksa mayat itu. “Nampaknya sudah cukup. Baiklah !Ayo kita segera pergi ke Villa itu.” Aku berharap penyelidikan kita akan membawa ke titik terang. Semoga kita bisa cepat menagkap pelaku pembunuhan ini.

*****

Haripun berlalu. Polisi terus memburu pelaku pembunuhan itu. Dan aku sedang asyik duduk dikursi sambil membuka arsip-arsip yang ada di atas meja. Sudah seminggu ini dengan teliti dan seksama aku membuka lagi kasus pembunuhan sebelumnya yang kudapat dari kepolisian Bogor. Aku curiga apakah kasus pembunuhan ini ada sangkut pautnya dengan kasus pembunuhan yang lain. Dan itu ternyata benar.
“Laki-laki berumur sekitar 28 tahun bernama Andrian Wijanarko mati dengan mengenaskan karena di bunuh, lehernya di gorok hingg hampir putus, di curigai korban dibunuh oleh teman kencannya saat berada di Villa Asmara.” berkas selanjutnya. “di Villa Gunung Sari, Seorang laki-laki di temukan mati dengan bekas luka di lehernya, korban bernama Rio Mandala Putra berumur sekitar 28 tahun, di curigai korban mati karena di bunuh pasangan kencannya. Selanjutnya.ditemukan mayat tanpa busana di dalam kamar mandi bernama Ifandrian Lukmana, korban berumur 28 tahun, korban mati dalam keadaan gosong terbakar akibat tersengat listrik di kamar mandi, di curigai korban di bunuh oleh teman kencannya saat berada di Villa Puri Indah Permai. Hehm.... Aneh...! Semua korban memiliki umur yang rata-rata sama dan mereka semua di bunuh di dalam Villa dan anehnya lagi mereka ini adalah pengusaha muda dan mereka saling mengenal satu sama lain. Terakhir kemarin, di temukan sesosok mayat bernama Hendra Wijaya berumur sekitar 28 tahun dengan bekas luka di perut, korban mati dibunuh dengan tusukan pisau dan korban juga merupakan teman dari 3 orang korban sebelumnya. Mereka rekan bisnis. Ahh!! Tidak mungkin, apa iya?”
“Apanya yang iya?” suara seorang wanita mengejutkanku.
“Ahh kamu say, ngagetin saja! Tidak, aku lagi membuka arsip-arsip penyelidikanku, kau tahu tidak, dari hasil penyelidikan ini ada 4 orang pria yang mati di bunuh dalam Villa. Dan anehnya lagi mereka ini adalah pengusaha muda dan saling mengenal. Aneh, sungguh aneh...!”. jawabku kepada Ana, wanita yang menjadi patner sekaligus pacarku. Dia wanita yang cantik dan cerdas. Kami pertamakali bertemu di sebuah pameran buku. Dia seorang pecinta seni dan sastra. Lebih tepatnya sebagai penulis lepas di beberapa majalah Bogor.
“Aneh apa maksudmu ?” Tanya Ana dengan heran.
“Apakah mungkin mereka ini dibunuh dengan orang yang sama. Anehnya lagi..”
“Dan anehnya lagi apa...?” Ana memotong perkataanku yang belum selesai.
“Dan anehnya lagi saatku aku menyelidiki jenazah korban pembunuhan itu sampai ke rumah sakit, ternyata jenazah korban pembunuhan itu tidak memiliki sanak keluarga, semua korban pembunuhan adalah anak yatim-piatu yang kaya raya, perkara kasus mereka nampaknya akan segera ditutup karena sampai sekarang tidak diketahui siapa pembunuh mereka sebenarnya. Ahh...nampaknya pemecahan misteri pembunuhan ini makin rumit” Sambungku dengan nada putus asa.
“Hemm..! kau sepertinya memang sangat kelihatan lelah, kau kan sudah semingguan ini tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan kasus ini.” Jawabnya sambil jemari tangannya memijat-mijat punggungku.
“Iya. Kau benar, aku memang lelah dan perlu banyak istirahat. Pijatanmu memang enak, saraf-saraf tubuhku yang kaku dan tegang seperti batu kini terasa ringan.” Perlahan aku menarik punggung tangannya Ana yang halus, lalu kami berdua berbaring berhimpitan di atas sofa. Aku kecup keningnya lalu bibirnya. Perlahan-lahan aku buka setiap helai pakaian yang menutupi tubuhnya. Rambutnya panjang berwarna hitam pekat. Kulitnya begitu mulus dan putih. Badannya sangat harum dengan wangi parfum khas bangsawan eropa. Kecantikannya sungguh memikat setiap laki-laki yang melihat kemolekan tubuhnya. Kami mabuk dalam peraduan cinta. Sepasang kekasih bergumul berjejal menjadi satu di atas sofa. Penuh nabsu melepas hasrat yang begitu membuncah di jiwa hingga rasa lelah yang kurasakan tadi seolah hilang menjadi energi yang maha dahsyat.

*****
Menghisap sebatang rokok dan ditemani secangkir kopi hangat, sambil membuka lagi lembaran-lembaran kasus pembunuhan itu, aku merasa memiliki energi lagi, badanku terasa sangat segar dan kuat. Sedang asyik membaca tiba-tiba aku terkejut mendengar suara ketokan dari pintu depan.
“Tok...tok...tok...”
“Ya, tunggu sebentar... “ ku lihat itu Ana, “kamu membawa apa?” aku bertanya padanya dengan sigap sambil tersenyum.
“Coba kau lihat, aku membelinya di toko depan, baca berita koran hari ini.” Iya memberikanku koran yang di belinya tadi.lalu akupun membacanya.
“Suara Pos, kasus ini pasti bukanlah hal biasa. Kebencian terhadap kaum borjuis dan pemerintah membuat akibat datangnya teror yang mengerikan ini. Mereka seharusnya menjadi penduduk yang baik, andai kata mereka melakukan hal-hal yang tidak melanggar norma-norma atau hukum agama. Jika ada yang melanggar maka mereka sepatutnya harus dihukum mati. Semua usaha telah dikerahkan untuk menemukan dalang dari aksi pembunuhan ini. Satu hal yang luar biasa telah dilakukan oleh Detektif Polisi Anton dengan mengetahui tempat dimana korban-korban pembunuhan tersebut sering menghabiskan waktu bersama mereka dengan mengikuti berbagai petunjuk yang dia ditemukan di tempat kejadian perkara. Dan pembunuh berantai itu akan segera ditangkap.” Aku terdiam sesaat.
“Dan ini, kau bacalah koran yang satunya lagi.” Ana menunjukkanku koran yang lain.
“ Indonesia Post “Kasus pembunuhan berantai diberbagai Villa itu mungkin adalah sebuah konspirasi politik yang terjadi karena ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintah yang memperlakukan secara spesial orang-orang kaya dan memberikan kesengsaraan kepada masyarakat kecil. Tragedi ini sepatutnya menjadi pelajaran bagi pemerintah karena sikapnya yang tidak pro-rakyat kecil. Korban adalah orang-orang yang memiliki kehidupan yang mapan dan tidak memihak pada kesejahteraan rakyat. Maka sepatutnyalah mereka mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatan mereka sendiri. Namun menurut Detektif Polisi Jefri, ini adalah murni kasus pembunuhan dan tidak bisa dikaitkan dengan hubungan mesra mereka terhadap kaum elit politik atau pemerintah. Polisi akan segera mendapatkan pelakunya karena mereka telah melakukan kerja keras siang dan malam. Polisi pasti akan menangkapnya dan memasukannya kedalam penjara”. Aku menutup koran lalu melipatnya. “Seperti yang saya telah kuduga sebelumnya Anton dan Jefri tampak sangat berjasa. Mereka adalah Detektif-detektif Polisi yang handal dan patut di acungi jempol. Ini menjadi kasus besar dan yang sukses mendapatkan pembunuhnya pasti akan cepat naik pangkat dan dapat tanda jasa.” Kataku sambil tersenyum.
“Terus bagaimana menurut pendapatmu? apakah mereka akan berhasil menangkap pembunuh itu dan membongkar misteri ini.” Tanya Ana dengan penasaran.
“Sebentar lagi kita akan mengetahui hal itu, dan kedua orang detektif itu akan segera mejelaskan apa yang mereka dapatkan kepada kita berdua.” Jawabku pada Ana.
“Tok...tok...tok...Masuklah pintu tidak dikunci.” Jawabku. “Anton!!! kawanku, sang Detektif hebat apa kabarmu...?” Aku menyambut Anton dengan hangat dan akrab.
“Baik, sangat baik, kau jangan terlalu memuji Ferdi, padahal kau adalah orang hebat yang sesungguhnya. Dan aku kesini bukan untuk minta kau puji, aku datang kesini membawa informasi penting mengenai penyelidikanku terhadap kasus pembunuhan itu. Media masa telah mengangkat kasus ini kepermukaan ini menyangkut nama baik Kepolisian Bogor” Jawabnya dengan nada serius.
“Baiklah kita duduk dulu, ceritakan apa yang telah kau temukan, Anton?” Tanyaku cepat.
“Nampaknya aku lebih cerdas dari Jefri tentang kasus ini. Begini, aku sudah melakukan penyelidikan keberbagai tempat diseluruh kota, ternyata mereka tidak memiliki orang tua dan sanak saudara. Mereka semua adalah yatim piatu yang mendapat warisan kekayaan dari orang tua mereka. Mereka tidak menikah. Kerjaan mereka adalah hura-hura dan berpesta, ditambah lagi suka main perempuan, mereka punya rekan bisinis kaum elit politik dan pejabat pemerintah sehingga mereka kebal hukum. Dari sekian tempat yang aku telusuri diketahui bahwa mereka sering berpesta di Bar Veronica. Mereka adalah rekan bisinis. Bisnis dalam hal kolektor barang antik. Pada saat pembunuhan terakhir beberapa hari yang lalu di sebuah kebun teh dekat Villa. Korban yang bernama Hendra Wijaya, sebelum dia meninggal sempat terjadi pertengkaran yang sangat memekakan telinga, korban bertengkar dengan sang pelaku pembunuhan, hal itu diketahui setelah memeperoleh keterangan seorang penjaga keamanan yang kebetulan berkeliling, dia kira itu hanyalah pertengkaran suamu-istri biasa. Tetapi perkiraannya itu salah keesokan harinya diketahui bahwa terjadi pembunuhan yang mengerikan. Jelasnya bahwa pelaku hanyalah satu orang dan Dia adalah seorang wanita.” Jawabnya dengan jelas dan lengkap.
“Itu informasi bagus, tetapi aku kira itu tidak membantu banyak hal dalam kasus ini. Aku rasa mungkin teman kita Jefri akan memberikan penjelasan yang lebih lengkap dan dapat membantu kita dalam penyelidikan kasus pembunuhan ini.” Jawabku dengan meyakinkan.
“Jefri katamu, apakah Dia akan datang kemari?” Tanya Anton terkejut.
“Iya. dia mangabariku bahwa dia akan datang kemari setelah melakukan penyelidikan di sebuah Hotel. “ ku jawab dengan lantang.
”Tok...tok...tok...!” Kami mendengar suara ketukan dari pintu.
“Masuklah pintu tidak di kunci.” Jawabku sambil teriak. Dari pintu masuk seorang laki-laki tegap dan besar memakai pakaian coklat crem lengkap dengan topinya.
“Ferdi dan Anton, kau juga disini rupanya. Aku kira hanya aku saja yang membutuhkan bantuan dalam kasus ini.” Jefri nampak terkejut dengan keberadaan Anton di kantorku.
“Tidak. Kasus ini adalah kasus kita bersama, kita semua adalah detektif”. Jawabnya dengan senyum kecut dan kesal.
“Tuan-tuan aku rasa kalian semua haus, sebaiknya aku mengambilkan kalian minum, sebentar ya.” Ana tiba-tiba memotong pembicaraan kami.
“Nampaknya kau mengetahui keadaan kami Ana.” Aku melihat Ana yang pergi ke dapur. “Baiklah, silahkan duduk Tuan-tuan,” Aku mempersilahkan mereka duduk. “Bagaimana hasil penelusuranmu Jefri?” Aku membuka pembicaraan.
“Aku menemukan titik terang dari kasus yang kita hadapi ini. Tadi barusan saja aku dari Hotel Hilton tempat dimana terjadi pembunuhan seorang pengusaha benama Rudy Chan. Sehari sebelum kejadian ini aku mendapatkan sebuah surat yang berisi undangan untuk bertemu dengannya di Hotel Hilton jam 9 pagi ini.” Jefri menunjukkan suratnya kepadaku dan Anton.. “Dalam surat itu dia mengatakan bahwa ada sebuah informasi rahasia yang ingin dia sampaikan menyangkut pembunuhan berantai itu serta apa yang terjadi sebenarnya dan katanya bahwa dia adalah korban selanjutnya. Akhirnya aku setuju dan memenuhi undangannya.” lanjutnya.
“Minuman datang, aku tau kalian semua pasti sudah haus. Ini silahkan diminum.” Ana membawakan kami beberapa cangkir minuman.
“Terimakasih Ana, kau datang disaat yang tepat.” kami bertiga minum dengan lahapnya. “Ah..! menyegarkan lanjutkan ceritamu Jefri.”.Sambungku.
“Aku memenuhi undanganya, aku datang 1 jam lebih awal yaitu pukul 8 pagi. Aku datang ke hotel dan menanyakan ke penjaga hotel, dan benar adanya dia memang menginap disana. Akhirnya aku naik ke atas bersama penjaga hotel itu menuju kamar Rudy Chan. Setibanya disana kami terkejut, karena pintu kamarnya tidak bisa dibuka, suara kami memanggilnyapun juga tidak disahut. Akhirnya kami mendobrak pintu kamarnya itu dan kami sangat terkejut ketika kami melihat diranjang kamar Rudy Chan sudah terbujur kaku tak bernyawa diatas tempat tidurnya. Ditubuhnya terdapat luka tususkan tepat dibagian jantung. Sebelum peristiwa itu terjadi, pagi itu nampak seorang wanita masuk dari arah pintu belakang Hotel. Ada seorang tukang sayur melihatnya saat sedang menuju ke pasar. Iya tidak merasa curiga karena memang biasanya para pegawai hotel sering keluar masuk lewat pintu belakang.” Jefri menjabarkan ceritanya dengan penuh semangat.
“Sial, kita terlambat. Padahal dia adalah satu-satunya kunci dari kasus ini. Lantas apa yang kau temukan di kamarnya Rudy Chan?” Tanyaku pada Jefri dengan sedikit kecewa.
“Saat itu Dia sedang memakai baju tidur, di kamarnya di temukan beberapa potong pakaian, sejumlah uang, sebuah koran, segelas air dan beberapa pil obat.”
“Pil obat.!!! Obat apa? Apakah kau membawa pil obat itu?” Tanyaku dengan curiga.
“Iya. aku membawanya. Bentuknya bulat dan warnanya kekuning-kuningan. Aku tidak mengetahui obat apakah itu sebenarnya.” Jefri memberikan obat itu kepadaku.
Aku berdiri melihat obat tersebut dengan seksama. “Ini namanya adalah Aconitine. Ini adalah racun. Sudah kuduga sejak awal. Dia mati bukan karena dibunuh tetapi karena diracuni.” Aku mejelaskan kepada mereka.
“Jadi kau tau siapa pembunuhnya Ferdi.?” Tanya Anton.
“Aku tidak yakin dengan apa yang aku katakan, tetapi menurutku hasil dari penyelidikan kami berdua pasti telah keliru. Kami berdua sudah berusaha melakukannya semampu kami. Kau pasti tau siapa pembunuhnya. Maka demi nama baik Kepolisian Bogor beritaulah kami siapa pelaku dari semua kejadian ini?” Jefri menguatkan pertanyaan Anton.
“Kalian memang benar, aku tau siapa pembunuh itu sebenarnya. Tetapi kalau hanya mengetahui namanya saja itu adalah hal yang kecil di bandingkan bagaimana cara kita semua bisa menangkapnya. Aku harap semoga saja kita bisa menangkapnya dalam waktu dekat ini. Kita harus berhati-hati dengannya karena dia pasti sangat pintar dan licik. Aku akan menangkapnya dengan rencanaku dan caraku sendiri. Anton apakah kamu membawa benda yang biasa di pakai seorang kriminal jika dia tertangkap.” Tanyaku pada Anton.
“Maksudmu borgol. aku membawanya setiap saat. Ini ambilah”. Anton mengeluarkan borgol dan menyerahkannya kepadaku.
“Ada hal yang terlupakan.” Aku pergi menuju meja kerja, beberapa arsipku jatuh. “Ana bisakan kau membantuku disini. Aku membutuhkan pertolonganmu?” Ana datang membantuku merapikan arsip yang terjatuh, saat Ana mengulurkan kedua tangannya Aku dengan sigap menangkap dan memborgolnya lalu berdiri. “Tuan-tuan aku perkenalkan kalian pada sang pembunuh itu Ana Salma.” Aku berkata pada kedua temanku itu.
“Apa maksudmu, apa yang kamu lakukan. Lepaskan aku Ferdi.” Ana berontak ingin melepaskan diri.
“Kaulah si pembunuh berantai itu. Aku menemukan cincin milikmu di tempat pembunuhan itu. Sebab itulah mengapa kau sekarang tidak memakai cincin bermata biru itu. Aku telah memeriksanya di toko perhiasan dan itu memang benar cincin milikmu. Kau tidak bisa mengelak lagi. Tolong kalian ambil cincin diatas meja itu sebagai barang bukti di pengadilan.” Pintaku pada kedua temanku. Tiba-tiba Anton dan Jefri merasakan sakit yang amat sangat pada leher dan perut mereka. Aku juga merasakan hal yang sama. “Ahh...leherku.” kami bertiga merasakan kesakitan yang luar biasa, seperti ada yang mecekik leher dan membakar perut kami. sedangkan Ana berlari melepaskan diri dariku mengambil kunci untuk melepas borgol.
“Ha..ha..ha..Kalian terlambat, memang aku yang membunuh mereka semua dan aku juga yang memberikan racun kedalam minuman kalian. Mereka semua pantas mati karena telah menghancurkan keluargaku. Sebentar lagi kalian semua akan mati menyusul mereka semua ke neraka.” Ana tertawa melihat penderitaan kami. Tiba-tiba terdengar suara tembakan pistol.
“Dor...” Timah panas mengenai badan Ana. Kami semua terbaring tak berdaya.
Samarinda, 15 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar